Sabtu, 26 Juli 2014

BUKU KONSEP IMAN DALAM CINTA DAN KASIH (MANTYASIH)





Orang jahat yang mengakui kejahatannya, berada di depan pintu menjadi orang baik; namun mereka yang bersembunyi, berada di seberang lautan yang ganas.

Perlakukan diri Anda dengan baik dan penuh rasa hormat, karena hanya dengan itu, Anda bisa menghormati orang lain tanpa kepentingan.


Sadarilah, bahwa dengan selalu mengejar kesempurnaan, justru disaat itulah Anda berbuat kesalahan lebih banyak.


Sebagai orang baik, Anda tidak ingin menyakiti orang lain, akan tetapi, Anda juga tidak mungkin tiada pernah menyakiti orang lain. Dunia menjadi hangat, dengan kata maaf. Kehidupan menjadi sempurna, dengan hati yang kaya dengan maaf. Utamanya, memaafkan diri sendiri.


Kita adalah orang baik, yang tak selalu baik. Orang baik, yang mungkin saja melakukan kesalahan. Namun, sebesar-besarnya kesalahan, dalam keseluruhan kita tetap orang baik. Kita berproses menjadi orang yang baik, terus menerus tanpa henti.


Rasa bersalah merupakan belenggu yang membuat diri sulit bergerak. Hal itu lebih kepada semacam penyesalan terhadap berkurangnya kesempurnaan, daripada benar-benar rasa sesal telah menyakiti orang lain.

Tidak ada yang mengetahui apapun yang terjadi dilangkah kita selanjutnya, kecuali setelah kita melangkah.


Setiap orang, konon memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Sebuah tempat tersendiri untuk berbuat salah, dan sebuah tempat tersendiri untuk berbuat baik. Sebuah tempat untuk mendapat kasih sayang dan penghargaan Tuhan, dan sebuah tempat untuk Tuhan memberikan pengampunan.


Kebaikan-kebaikan yang Anda lakukan, tujukan semata pada Tuhan, karena Dia yang paling mengerti bagaimana cara menghargai. Kesalahan-kesalahan yang Anda lakukan, juga serahkan kepadaNya, karena hanya Dia yang paling tahu bagaimana caranya memaklumi dan memperbaiki.


Meyakini kebaikan kita, sama dengan memutuskan bersama Tuhan. Sama artinya dengan menghargai apa yang Tuhan berikan, baik berupa anugrah atau pertolongan. Jangan pernah menilai diri kita terlalu rendah, karena itu berarti menghina Tuhan.

Kehidupan kita merupakan sebuah keniscayaan. Kita terlempar ke dunia tanpa bisa menolaknya. Kita tidak bisa melakukan pilihan untuk tidak memasuki kehidupan. Kehidupan telah mengangkat kita dari lorong ketiadaan yang tak terbayangkan kepada bentuk-bentuk yang tak sekedar ada, bahkan pun bisa kita maknai.


Dari semenjak kita lahir hingga saat ini, tak terhitung betapa banyak kebahagiaan yang kita peroleh, dan dengan itu kita menjadi manusia yang segar dan dipenuhi keceriaan. Kesalahan kita adalah, berharap bahwa kebahagiaan itu akan senantiasa kekal dan tak pernah berganti. Kita ingin terus menerus bahagia. Sehingga tatkala penderitaan menerjang, kita seakan tak memiliki kesanggupan menghadapinya, dan seakan penderitaan itu menghanguskan jutaan kebahagiaan yang telah kita rasakan. Seolah kita lupa bahwa kita pernah begitu sering bahagia.


Sebagian besar manusia telah salah meletakkan tempat kebahagiaan. Mereka meletakkan kebahagiaan pada benda-benda yang tidak abadi.


Kita melekatkan diri pada benda-benda, sehingga ketika benda itu hilang atau rusak, kita ikut hilang dan rusak pula. Kita menjadi menderita.


Manusia tidak perlu berebut kebahagiaan, karena masing-masing mereka telah memiliki lautan kebahagiaan di dalam hatinya.


Saat kehidupan dijalani sebagaimana mestinya, yakni mesti bersama Tuhan, maka kehidupan menjadi anugrah yang tiada batas. Anda tahu, disepanjang jalan kehidupan yang ditemani Tuhan, Dia akan sering bercerita dan bercanda, yang itu semua membuat kita merasakan betapa Tuhan sangat sayang kepada kita.


Anda sangat menderita saat ini? Lihatlah apakah ada kebahagiaan yang Anda letakkan kepada sebuah benda. Jika ada, segera ambil kembali kebahagiaan itu, dan letakkan sepenuhnya di dalam jiwa.

Kehidupan hanya akan menjadi anugrah bagi mereka yang meyakini adanya pemberi anugrah kehidupan itu, bukan bagi mereka yang tidak yakin akan keberadaan sang pemberi kehidupan. Adanya pemberi kehidupan, mengandung makna bahwa kehidupan itu pasti memiliki tujuan, dan hakikat bagaimana kehidupan seharusnya untuk dijalankan.

Bagaimana kita bisa menikmati keseluruhan isi buku Konsep Iman dalam Cinta dan Kasih (Mantyasih) yang memuat Quotes sebagaimana tersebut di atas,  klik di sini atau di sini, di sini juga bisa. Semoga Berkah.

Jumat, 21 Maret 2014

KARYA SULUK 99 BAIT





SULUK BEGJA : Pitutur Keselamatan Dunia Akhirat
Ki Ageng Mantyasih
11 x 18 cm | 105 hlm.
Garudhawaca 978-979-18632-1-6
Kategori : Religi (Islam – Jawa)


Suluk Begja, adalah sekumpulan syair-syair religi islami yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh sang pujangga spiritual ini. Meski demikian, dalam buku ini juga disajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia agar semua para pembaca dari etnis lain tetap dapat memanfaatkan karya ini. 

Suluk Begja mengingatkan kita sekali lagi, mengenai jalan yang lurus mencapai ketenangan dari cinta Allah, dan memberi kita rambu-rambu untuk menuju kedamaian lahir batin dan merasakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.

BUKU KAWRUH BEGJA SAWETAH



Menimba Kearifan Filsuf Jawa
Oleh Ki Ageng Mantyasih


Pada setiap bangsa yang besar, yang ditakdirkan untuk mengarus jalannya sejarah peradaban, tentu memiliki pemikiran adiluhung yang patut disumbangkan. Indonesia, bangsa yang usia sejarahnya masih belia, pada dasarnya telah memiliki kekayaan pemikiran dan hasil-hasil cipta budi yang sangat layak dan elok. Apakah Indonesia tak memiliki pemikiran filosofi sekaliber Plato atau Aristoteles? Apakah cikal bakal bangsa ini hanya dipenuhi dengan takhayul, mitos, dan tebaran ritual tanpa kekuatan pemikiran yang mumpuni?
Kiranya bangsa ini perlu tahu, dunia perlu mengenal, bahwa Indonesia dipenuhi oleh pemikir-pemikir raksasa yang menjangkau pemikiran-pemikiran filsafat di beragam penjuru dunia, baik di Timur maupun Barat, salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran yang memilih hidup di luar tembok istana ini dilahirkan pada 20 Mei 1892. Pemikiran beliau yang terkenal dengan “Kawruh Begja” mengandung filsafat dan psikologi yang teramu dalam gaya jawa yang khas, yakni menyederhanakan hal-hal yang rumit, tanpa meninggalkan kedalaman.
Sebenarnya, istilah kawruh, memiliki makna yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan ilmu atau pengetahuan dalam aras ilmiah modern. Kawruh memiliki pengertian tersendiri yang merangkum ilmu, pengetahuan, sekaligus kebijaksanaan, dan aplikasi praktis. Kawruh tidak berada dalam ranah dikotomi (pembedaan) antara konsep dan terapan, materi dan non materi, ide dan realita, atau bahkan raga dan jiwa. Kawruh merupakan kesatuan menyeluruh dari kebenaran logis sekaligus intuitif, yang disana sudah memuat segala macam yang perlu diketahui, sisik melik-nya, sekaligus terapan praktisnya. Itulah kawruh, sebuah pengetahuan gaya jawa yang sulit dicari padanannya.
Sementara itu, istilah ‘begja’, juga memiliki kekhasan makna tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan kebahagiaan saja, atau keberuntungan semata. Akan tetapi, ‘begja’ memiliki konotasi yang melingkupi keduanya, yakni sebuah keadaan bahagia, beruntung, sekaligus damai. Sehingga, apa yang disebut Kawruh Begja ini, sejatinya merupakan sebuah kebenaran tentang hidup, pengetahuan tertinggi mengenai hakikat segala sesuatu, dan puncak yang sejatinya dituju dan dicari oleh setiap manusia. Dan seperti halnya gaya jawa yang lugu dan sederhana, begitupun kawruh ini, bukan sesuatu yang berada di menara gading, juga tidak diperlukan usaha yang ndakik-ndakik, apalagi menghabiskan banyak uang, dan waktu bertahun-tahun, hanya untuk mengetahui “apa itu hidup dan bagaimana menjalaninya”. Bagusnya lagi, semua orang bisa dengan mudah memahaminya, karena hakikatnya, kawruh ini seperti nafas kita; begitu dekat, namun sering tidak disadari.
Sebagai seorang pengagum dan penghayat, saya sangat ingin agar kawruh ini tertanam di dalam dada para putra bangsa, menjadi ajaran wajib di setiap level pendidikan dan mata kuliah, dan menjadi spirit para pemimpin bangsa dalam rangka menjalankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Kawruh ini merupakan tradisi intelektual sekaligus spiritual yang asli Indonesia, sebuah kesejatian budaya yang tidak melulu dipenuhi simbol-simbol, melainkan sebuah warisan adiluhung yang tak ternilai harganya.
Buku ini terdiri dari dua bagian tulisan, tulisan yang merupakan transkrip dari ceramah Ki Ageng Suryomentaram, dan tulisan yang berupa jabaran, yang dengan segala keterbatasan berusaha saya wujudkan sebagai ikhtiar memahamkan diri saya sendiri agar semakin menghayati, syukur-syukur bisa semakin memperkaya kawruh ini dan memberikan manfaat bagi para pembaca. Semoga, ember kecil ini bisa digunakan sedikit demi sedikit untuk menimba kearifan seorang filsuf jawa, tentu dengan menunduk penuh hormat kepada ember-ember besar dengan kebesaran jiwa mereka yang memaklumi jabaran yang sungguh terbatas ini.
Nuwun.

Ki Ageng Mantyasih