Menimba Kearifan Filsuf Jawa
Oleh Ki Ageng Mantyasih
Pada setiap bangsa yang besar,
yang ditakdirkan untuk mengarus jalannya sejarah peradaban, tentu memiliki
pemikiran adiluhung yang patut disumbangkan. Indonesia, bangsa yang usia
sejarahnya masih belia, pada dasarnya telah memiliki kekayaan pemikiran dan
hasil-hasil cipta budi yang sangat layak dan elok. Apakah Indonesia tak
memiliki pemikiran filosofi sekaliber Plato atau
Aristoteles? Apakah cikal bakal bangsa ini hanya dipenuhi dengan takhayul,
mitos, dan tebaran ritual tanpa kekuatan pemikiran yang mumpuni?
Kiranya bangsa ini perlu tahu,
dunia perlu mengenal, bahwa Indonesia
dipenuhi oleh pemikir-pemikir raksasa yang menjangkau pemikiran-pemikiran
filsafat di beragam penjuru dunia, baik di Timur maupun Barat, salah satunya
adalah Ki Ageng Suryomentaram.
Pangeran yang memilih hidup di luar tembok istana ini dilahirkan pada 20 Mei 1892. Pemikiran beliau yang terkenal dengan “Kawruh Begja”
mengandung filsafat dan psikologi yang teramu dalam gaya jawa yang khas, yakni menyederhanakan
hal-hal yang rumit, tanpa meninggalkan kedalaman.
Sebenarnya, istilah kawruh,
memiliki makna yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan ilmu atau
pengetahuan dalam aras ilmiah modern. Kawruh memiliki pengertian tersendiri
yang merangkum ilmu, pengetahuan, sekaligus kebijaksanaan, dan aplikasi
praktis. Kawruh tidak berada dalam ranah dikotomi (pembedaan) antara konsep dan
terapan, materi dan non materi, ide dan realita, atau bahkan raga dan jiwa.
Kawruh merupakan kesatuan menyeluruh dari kebenaran logis sekaligus intuitif,
yang disana sudah memuat segala macam yang perlu diketahui, sisik melik-nya, sekaligus terapan
praktisnya. Itulah kawruh, sebuah pengetahuan gaya jawa yang sulit dicari padanannya.
Sementara itu, istilah
‘begja’, juga memiliki kekhasan makna tersendiri yang tidak bisa disamakan
dengan kebahagiaan saja, atau keberuntungan semata. Akan tetapi, ‘begja’
memiliki konotasi yang melingkupi keduanya, yakni sebuah keadaan bahagia,
beruntung, sekaligus damai. Sehingga, apa yang disebut Kawruh Begja
ini, sejatinya merupakan sebuah kebenaran tentang hidup, pengetahuan tertinggi
mengenai hakikat segala sesuatu, dan puncak yang sejatinya dituju dan dicari
oleh setiap manusia. Dan seperti
halnya gaya
jawa yang lugu dan sederhana, begitupun kawruh ini, bukan sesuatu yang berada
di menara gading, juga tidak diperlukan usaha yang ndakik-ndakik, apalagi menghabiskan banyak uang, dan waktu
bertahun-tahun, hanya untuk mengetahui “apa itu hidup dan bagaimana
menjalaninya”. Bagusnya lagi, semua orang bisa dengan mudah memahaminya, karena
hakikatnya, kawruh ini seperti nafas kita; begitu dekat, namun sering tidak
disadari.
Sebagai seorang pengagum dan
penghayat, saya sangat ingin agar kawruh ini tertanam di dalam dada para putra
bangsa, menjadi ajaran wajib di setiap level pendidikan dan mata kuliah, dan
menjadi spirit para pemimpin bangsa dalam rangka menjalankan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Kawruh
ini merupakan tradisi intelektual sekaligus spiritual yang asli Indonesia,
sebuah kesejatian budaya yang tidak melulu dipenuhi simbol-simbol, melainkan
sebuah warisan adiluhung yang tak ternilai harganya.
Buku ini terdiri dari dua
bagian tulisan, tulisan yang merupakan transkrip dari ceramah Ki Ageng
Suryomentaram, dan tulisan yang berupa jabaran, yang dengan segala keterbatasan
berusaha saya wujudkan sebagai ikhtiar memahamkan diri saya sendiri agar
semakin menghayati, syukur-syukur bisa semakin memperkaya kawruh ini dan
memberikan manfaat bagi para pembaca. Semoga, ember kecil ini bisa digunakan
sedikit demi sedikit untuk menimba kearifan seorang filsuf jawa, tentu dengan
menunduk penuh hormat kepada ember-ember besar dengan kebesaran jiwa mereka
yang memaklumi jabaran yang sungguh terbatas ini.
Nuwun.
Ki Ageng Mantyasih