Jumat, 21 Maret 2014

KARYA SULUK 99 BAIT





SULUK BEGJA : Pitutur Keselamatan Dunia Akhirat
Ki Ageng Mantyasih
11 x 18 cm | 105 hlm.
Garudhawaca 978-979-18632-1-6
Kategori : Religi (Islam – Jawa)


Suluk Begja, adalah sekumpulan syair-syair religi islami yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh sang pujangga spiritual ini. Meski demikian, dalam buku ini juga disajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia agar semua para pembaca dari etnis lain tetap dapat memanfaatkan karya ini. 

Suluk Begja mengingatkan kita sekali lagi, mengenai jalan yang lurus mencapai ketenangan dari cinta Allah, dan memberi kita rambu-rambu untuk menuju kedamaian lahir batin dan merasakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.

BUKU KAWRUH BEGJA SAWETAH



Menimba Kearifan Filsuf Jawa
Oleh Ki Ageng Mantyasih


Pada setiap bangsa yang besar, yang ditakdirkan untuk mengarus jalannya sejarah peradaban, tentu memiliki pemikiran adiluhung yang patut disumbangkan. Indonesia, bangsa yang usia sejarahnya masih belia, pada dasarnya telah memiliki kekayaan pemikiran dan hasil-hasil cipta budi yang sangat layak dan elok. Apakah Indonesia tak memiliki pemikiran filosofi sekaliber Plato atau Aristoteles? Apakah cikal bakal bangsa ini hanya dipenuhi dengan takhayul, mitos, dan tebaran ritual tanpa kekuatan pemikiran yang mumpuni?
Kiranya bangsa ini perlu tahu, dunia perlu mengenal, bahwa Indonesia dipenuhi oleh pemikir-pemikir raksasa yang menjangkau pemikiran-pemikiran filsafat di beragam penjuru dunia, baik di Timur maupun Barat, salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran yang memilih hidup di luar tembok istana ini dilahirkan pada 20 Mei 1892. Pemikiran beliau yang terkenal dengan “Kawruh Begja” mengandung filsafat dan psikologi yang teramu dalam gaya jawa yang khas, yakni menyederhanakan hal-hal yang rumit, tanpa meninggalkan kedalaman.
Sebenarnya, istilah kawruh, memiliki makna yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan ilmu atau pengetahuan dalam aras ilmiah modern. Kawruh memiliki pengertian tersendiri yang merangkum ilmu, pengetahuan, sekaligus kebijaksanaan, dan aplikasi praktis. Kawruh tidak berada dalam ranah dikotomi (pembedaan) antara konsep dan terapan, materi dan non materi, ide dan realita, atau bahkan raga dan jiwa. Kawruh merupakan kesatuan menyeluruh dari kebenaran logis sekaligus intuitif, yang disana sudah memuat segala macam yang perlu diketahui, sisik melik-nya, sekaligus terapan praktisnya. Itulah kawruh, sebuah pengetahuan gaya jawa yang sulit dicari padanannya.
Sementara itu, istilah ‘begja’, juga memiliki kekhasan makna tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan kebahagiaan saja, atau keberuntungan semata. Akan tetapi, ‘begja’ memiliki konotasi yang melingkupi keduanya, yakni sebuah keadaan bahagia, beruntung, sekaligus damai. Sehingga, apa yang disebut Kawruh Begja ini, sejatinya merupakan sebuah kebenaran tentang hidup, pengetahuan tertinggi mengenai hakikat segala sesuatu, dan puncak yang sejatinya dituju dan dicari oleh setiap manusia. Dan seperti halnya gaya jawa yang lugu dan sederhana, begitupun kawruh ini, bukan sesuatu yang berada di menara gading, juga tidak diperlukan usaha yang ndakik-ndakik, apalagi menghabiskan banyak uang, dan waktu bertahun-tahun, hanya untuk mengetahui “apa itu hidup dan bagaimana menjalaninya”. Bagusnya lagi, semua orang bisa dengan mudah memahaminya, karena hakikatnya, kawruh ini seperti nafas kita; begitu dekat, namun sering tidak disadari.
Sebagai seorang pengagum dan penghayat, saya sangat ingin agar kawruh ini tertanam di dalam dada para putra bangsa, menjadi ajaran wajib di setiap level pendidikan dan mata kuliah, dan menjadi spirit para pemimpin bangsa dalam rangka menjalankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Kawruh ini merupakan tradisi intelektual sekaligus spiritual yang asli Indonesia, sebuah kesejatian budaya yang tidak melulu dipenuhi simbol-simbol, melainkan sebuah warisan adiluhung yang tak ternilai harganya.
Buku ini terdiri dari dua bagian tulisan, tulisan yang merupakan transkrip dari ceramah Ki Ageng Suryomentaram, dan tulisan yang berupa jabaran, yang dengan segala keterbatasan berusaha saya wujudkan sebagai ikhtiar memahamkan diri saya sendiri agar semakin menghayati, syukur-syukur bisa semakin memperkaya kawruh ini dan memberikan manfaat bagi para pembaca. Semoga, ember kecil ini bisa digunakan sedikit demi sedikit untuk menimba kearifan seorang filsuf jawa, tentu dengan menunduk penuh hormat kepada ember-ember besar dengan kebesaran jiwa mereka yang memaklumi jabaran yang sungguh terbatas ini.
Nuwun.

Ki Ageng Mantyasih